Menjadi Guru Sufi di AUM
MENJADI GURU SUFI DI AMAL USAHA MUHAMMADIYAH
(latepost)
Para alim, orang berilmu, guru zaman dulu punya daya tarik yang
sangat tinggi karena kesufiannya. Beliau tidak menginginkan apa-apa untuk
dirinya, tapi dirinyalah yang untuk ummat dan Allah, hal ini tentu tidak serta
merta muncul, namun melalui sebuah proses, yaitu proses tasawuf, bagaimana
seseorang berjuang untuk perjuangan bukan memperjuangkan dirinya sendiri.
Jahidu fi sabilillah bi amwalikum wa anfusikum, berjuanglah kamu
di jalan Allah dengan menggunakan hartamu dan dirimu. Nah di dalam diri itu ada
apa?
Dalam diri manusia itu ada Ruh, Rasa, Hati Aqal, dan Nafsu.
Dimana lima unsur dalam diri ini seharusnya dipimpin oleh Ruh, sedangkan Ruh
itu membutuhkan bermesra-mesra dengan penciptanya sehingga tekad untuk jahidu
fi sabilillah bi amwalikum dapat dilakukan secara otomatis.
Sementara saat ini posisi lima unsur itu terbalik, yaitu nafsu
yang memimpin 4 unsur lainnya. Maka dalam beraktivitas menjadi terbalik
wajahidu fi sabililah li amwalikum, banyak yang berjuang untuk mencari harta
bukan dengan mengorbankan harta. Nah kita sebagai guru di lingkungan Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM) masuk kategori yang mana? J
Saya berkeyakinan bahwasanya guru-guru di AUM mempunyai
kompetensi yang sangat baik, artinya secara keilmuan sangat mumpuni.
Permasalahannya bagaimana ilmu yang dimiliki berubah menjadi akhlak, tentu
tidak cukup hanya dengan mendengarkan pengajian atau membaca buku.
Semua org tahu bahwa sholat itu 5 kali tapi masih banyak yang 5
hari sekali. (benar kan J)
Jadi….
Untuk mengerti sholat 5
kali …. itu mudah
yang sulit adalah ….5
kali betulan. J
nah disini memerlukan proses lain yaitu kerelaan kita terhadap
syariat Allah. Dalam hal ini sangat tergantung pada posisi hati kita bukan
posisi pengetahuan kita, oleh karena itu orang alim zaman dulu rata-rata sufi,
ahli tasawuf sehinga dalam menyampaikan ilmunya misalnya tentang ini halal
haram benar-benar lillah. Ketika hukum diminta untuk diubah tidak mau karena
ini bukan dari saya, bukan fikiran saya tapi dari Allah.
Menetapkan hukum itu masalah fiqh tapi kejernihan hati
menentukan hukum itu tasawuf.
Sama-sama orang alim dengan hati tidak sama maka jawaban
terhadap satu permasalahan bisa jadi tidak sama.
Orang ahli tasawuf tidak tertutup kemungkinan ia ahli di bidang
lain, yang penting ia bisa membenargunakan hatinya. Tasawuf itu bukan sesuatu
yang berdiri sendiri tidak mau bergabung (alergi) dengan bidang lain.
Orang ahli ilmu pengetahuan umum seperti al Kindi, beliau
seorang sufi yang memikirkan/mendalami ilmu matematika, meta fisika dan
psikologi. Sedangkan Ibnu sina juga seorang sufi yang mendalami ilmu
kedokteran.
Ada juga kholifah al Mansyur, beliau seorang raja yang juga
seorang sufi. Bila selesai bekerja maka lampu di ruangan kerjanya dimatikan
sebab beliau menyadari bahwasanya lampu ini yang bayar negara, kalau beliau
tidak bekerja maka beliau tidak mau di kantor tapi memilih di rumah. Jadi
dengan kesufian ini orang akan menjadi sholeh pada bidangnya masing-masing.
Nah kalau di sini, tidak ada pekerjaan tetep saja di sekolah
biar dihitung lembur, begitukah ?
Orang sufi itu diberi uang seseorang akan ditanyakan, ini uang
apa? untuk apa? agar terang halalnya. Kalau guru di AUM bagaimana?
Mugkin …..
HR terlambat akan marah-marah J
Datang ke sekolah terlambat biasa saja J
ini mungkin….. J
Tasawuf sebagai kepemilikan dibutuhkan untuk ubudiyah dan
tazkiyatunnafs. Ada orang sufi yang menyendiri..... tapi orang sufi dikeramaian
tidak kurang.
Ada topo sepi ada topo
rame. Ada yang menyendiri di tempat sepi agar tidak terpengaruh, tapi
tingkat yang lebih tinggi adalah dia berada di tempat ramai tapi ia tidak
terpengaruh oleh sekitarnya.
Sebagai seorang guru militan, guru sebenar guru, guru kader
Muhammadiyah….. menjadi seorang sufi adalah sebuah kebutuhan. Dengan
kesufiannya ia mempunyai semangat mendermakan, mewakafkan dirinya untuk jahidu
fi sabilillah bi amwalikum wa anfusikum telah ia jatuhkan pada Muhammadiyah.
Seorang guru yang sufi, ia akan selalu memiliki semangat untuk
belajar dan mengembangkan diri agar dapat memberikan layanan yang tebaik pada
peserta didiknya yang didorong oleh keikhlasan. Lillahi ta’ala
Seorang guru sufi akan selalu mengaitkan hatinya dengan Allah,
ia akan merasa semua gerak geriknya selalu diawasi oleh Sang Maha Melihat lagi
Maha Bijaksana. Kesehariannya akan diliputi rasa bahagia dan kesabaran.
Munculnya rasa bahagia, sabar/tidak marah, juga semangat belajar untuk menjadi
lebih baik pada diri sang guru sufi ini tidak muncul tiba-tiba, namun melalui
proses. Ia berproses dalam peribadatan yang berulang-ulang. Satu diantara
peribadatan yang diulang-ulang adalah sholat. Dalam sholat ada bacaan yang
berulang-ulang dibaca yaitu surah al Fatihah.
Ayat ke tujuh surah al Fatihah yang artinya:
"(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat". (QS. Alfatihah: 7)
Dalam ayat ini tersampaikan tiga aspek yaitu;
1. jalan orang yang Engkau diberi nikmat, rasa bahagia akan
dimiliki orang yang diberi nikmat oleh Dzat yang Maha Kasih,
2. bukan (jalan) mereka yang dimurkai, siapa orang yang
dimurkai?
Dalam satu riwayat disampaikan :
Abdullah bin 'Amr radiyallahu’anhuma bertanya kepada Rasulullah
sallallahu 'alaihi wasallam: Amalan apa yang bisa menjauhkanku dari murka
Allah? Rasulullah menjawab: "Jangan marah". [Musnad Ahmad: Sahih]
3. Bukan (pula jalan) mereka yang sesat, siapa orang yang sesat?
yaitu orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sehingga
mereka dalam kesesatan serta tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran (Tafsir
Ibnu Katsir). Makna pesan yang ketiga adalah yang memiliki semangat belajar
agar tidak tergolong orang yang tersesat.
Tiga aspek dalam surah al Fatihah ayat 7 ini yaitu perasaan
bahagia, sabar/tidak marah, dan semangat belajar/motivasi menurut Eko Hardi
Ansyah, adalah ciri dari orang yang di dalam konsep psikologi disebut dengan
sehat mental.
Guru sufi di AUM yang memiliki tiga aspek dalam dirinya akan
mampu memberikan pelayanan terbaik mereka pada siswa, teman kerja, wali murid
dan orang-orang di sekitarnya semata-mata karena mencari ridlo Allah semata.
Jika setiap individu di AUM menjadi individu-individu sufi yang ada di
keramaian maka ketaatan, kesejahteraan dan kemuliaan akan menjadi ruh AUM.
Ramadhan,
16 Juni 2017
Subhanallah ...Astagfirullah.. semoga bisa masuk dalam kelompok itu.
BalasHapusMatur nuhun pencerahannya Bunda