Wanita Kekinian yang Menawan Rasaku
Wanita Kekinian Yang Menawan Rasaku
Part 1
Jam tangan bertali kulit warna
hitam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul 11.16, rasa ini kian memaksa
diriku untuk segera berbenah dan berangkat ke kota kelahiranku, Kota Malang.
Kutawarkan anak lelakiku yang sedang libur sekolah untuk menemaniku, ia pun
sepakat menemani emaknya yang tiba-tiba rindu kampung halamannya. Berdua kami
pun berangkat, perjalanan baru 10 km saat masuk jalan raya menuju arteri,
barulah aku tersadar kalau dompetku tertinggal. Kembalilah kami ke rumah dan
harus memutar masuk tol Porong-Surabaya dan
turun di exit Sidoarjo.
Dompet yang tertinggal membawa
hikmah untuk putri kecilku yang baru pulang dari berkegiatan osis di sekolahnya
sehingga bisa ikut bersama ibu dan kakaknya. Bertiga aku dan pasukanku menuju
ke Malang tanpa tau harus pulang kemana, karena memang aku sudah tidak punya
kampung halaman lagi sejak ibuku berpulang.
Jalan tol Surabaya-Malang sepi dan
lengang hingga tak terasa mobilku laju
hingga 125 km per jam bahkan sesekali berkecepatan lebih. Ternyata asyik juga
berkendara kencang-kencang. J
Masuk kota Malang yang sejuk hari ini,
karena habis diguyur hujan dan sedikit mendung. Aku putuskan berhenti di
alun-alun kota Malang untuk menikmati udara pusat kota. Aku duduk di salah satu
bangku sambil menyelonjorkan kakiku,
sementara dua anakku asyik kulinari jajanan yang ada di beberapa sudut alun-alun.
Aku menikmati sendiriku, ku atur nafasku
satu-satu sambil mengingat masa mudaku di kota ini yang sering duduk
berlama-lama di alun-alun saat pulang kuliah. Tiba-tiba mataku tertuju pada wanita
paruh baya yang mengenakan legging biru dan atasan panjang berwarna biru muda
bermotif bunga-bunga warna pink, berpadu hijab pink yang menambah cantik
pemakainya. Cantik sekali gumamku. Wanita kekinian itu berjalan ke arahku dan
duduk di sebelahku.
Wanita kekinian nan cantik bergaun
modis model terkini, dengan harum parfum yang segar dan lembut itu, tertunduk
beberapa saat. Mataku terus memandanginya, entah kenapa aku suka melihatnya.
Wanita kekinian itu memandangku,
mungkin risih karena aku yang tak lepas melihatnya. Ia memandangku tanpa
senyuman, datar dan dingin. Giliranku yang salah tingkah dengan pandangannya.
Aku mengalihkan pandanganku ke masjid agung yang berdiri makin megah. Kami
sama-sama diam.
“Mbak sudah lama duduk di sini?”,
tanyanya padaku.
“eh iya bu… eh mbak…” jawabku
sambil gugup.
“Mbak tinggal di Malang?”,
tanyanya lagi.
“Saya dari Sidoarjo Mbak, tapi
aslinya Malang sini, Mbaknya dari mana?” aku balik bertanya.
Dia tak menjawab, hanya diam dan
memandangiku dengan mata yang sedikit berkaca.
Waduh… , wanita kekinian ini
kenapa?, batinku.
Aku mengubah arah dudukku
menghadap wanita kekinian itu. “Mbak baik-baik saja?” tanyaku perlahan.
Ia menunduk dan mulai menetes air
matanya.
Waduh kalau sampai dia nangis
keras hingga menarik perhatian orang bisa-bisa aku dalam masalah.
Aku diam tak berani bertanya lagi.
Sepi beberapa saat.
Air matanya makin banyak. Wanita
kekinian itu menahan suaranya, bahunya terguncang, dan akupun hanya diam tidak
berani melakukan tindakan apapun.
Beberapa menit berlalu, wanita
kekinian itu mulai tenang, kuberanikan diriku bertanya “Mbak perlu bantuan
saya? Atau ada yang mau disampaikan ke saya? Saya siap mendengarkan mbak.” kataku.
Wanita kekinian itu menatapku
cukup lama, tanpa senyum tanpa suara. Ia mengambil tissue dari tas LV-nya yang
bagus dan mengusap air matanya.
Waduh…. semoga tidak salah kata
yang kuucapkan.
Hening. Hembusan angin Malang
menyentuh pipiku, lembut, anyes kurasa, masih sama rasanya dengan saat aku
masih muda dulu.
“Saya bukan kakak yang baik mbak” wanita
kekinian itu mulai berbicara.
“Saya membiarkan semua hal buruk
dialami adik semata wayang saya, tanpa bisa berbuat banyak untuk menolongnya.” Lanjutnya.
“Apa yang dialami adiknya Mbak?”
tanyaku.
Dia menatapku dalam-dalam, seolah
mencari tahu apa yang ada didalam fikiran dan hatiku. Sementara mataku memerhatikan
dua anakku yang mulai berjalan kearah kami. Aku berdoa semoga anakku memutar
langkahnya agar menjauh dariku dan memberi waktu bagiku untuk mendengarkan
kisah wanita kekinian ini. Maklum aku mulai kepo J.
Alhamdulillah harapan emaknya
ditangkap kedua anakku, mereka tiba-tiba berbelok arah menuju bangku yang
terletak di sebelah utara dariku.
Puinteer kataku dalam hati.
Part
2
Mataku memperhatikan kedua anakku
untuk memastikan mereka tidak membeli jajanan bulat-bulat berbalut saos merah
menyala yang paling tidak kusuka. Syukurlah mereka tidak jajan makanan bulat
merah menyala, mereka main “sebulan” yang berbentuk bulat transparan, sambil
tertawa cekikikan, berlarian mengejar bola-bola transparan yang ditiup angin.
Anak SMA ku yang berasa TK hari ini. Bahagia itu sederhana saja J
Sementara si wanita kekinian itu
masih terus menatap dua bola mataku.
“Maaf bila pertanyaan saya membuat
mbak e tidak nyaman.” Kataku, menghentikan pandang selidiknya.
Wanita kekinian itu menarik nafas
dalam-dalam tampak kesedihan di raut mukanya yang putih dan licin.
“Adik saya seorang sarjana
informatika di universitas ternama di Surabaya, ia juga seorang santri yang
mengenal hidup ini lurus-lurus saja dan menganggap semua orang di sekelilingnya
baik dan welas asih. Selesai kuliah ia tinggal berdua dengan ibu saya di Batu dan
membantu mengurus usaha keluarga kami, ia berikan sentuhan kampus untuk
memerbaiki administrasi yang selama ini dilakukan ibu saya sekadarnya.”
“Insya Allah ilmu adiknya
panjenengan barokah mbak.” Sela-ku.
“Iya….” Timpal wanita kekinian
itu.
“Suatu ketika saya pulang ke rumah
ibu saya sendiri saja. Sering itu saya lakukan
karena suami saya enggan bila saya ajak pulang ke rumah ibu. Kalaupun
mau paling lama hanya 2 atau 3 jam di rumah ibu saya dan segera minta pulang ke
Surabaya.
Saat itu di rumah ibu ada tamu laki-laki
rekanan usaha ibu yang dikenalkan saya. Pak Wisnu, usianya kira-kira tiga atau
empat tahun diatas saya.” Adik dan ibu
saya tampak sudah akrab dengan pak Wisnu. Itu awal saya bertemu lelaki
berhidung besar itu mbak.” Wanita kekinian mengambil nafas lagi lalu diam
beberapa saat.
Aku membayangkan hidung bapak-bapak
yang disebutkan seperti squitwot teman si sponge bob kali ya.^^
Wanita kekinian melanjutkan
kisahnya. Empat tahun yang lalu ibu saya jatuh di kamar mandi sementara saya
masih ada tugas kantor di Bogor. Jadi saya tidak bisa pulang saat adik
perempuan saya memberitahu tentang kejadian itu, saya minta suami saya pulang
untuk memastikan keadaan ibu saya, dan seperti biasa ia bilang aku gak bisa.
Dan seperti biasa pula saya tidak memaksanya. Dari Bogor saya tidak pulang ke
Surabaya, namun langsung ke Batu menengok kondisi ibu. Saya menyaksikan ibu
saya yang semula energik, lincah kesana-kemari kini hanya bisa berbaring karena
lumpuh dan tidak bisa berbicara.
Saya peluk erat tubuh beliau,
sambil berkali-kali saya meminta maaf karena telah abai terhadapnya. Saya abai
karena kondisi memaksa saya untuk memilih antara berbakti terhadap suami atau
terhadap ibu yang melahirkan saya. Saya memilih mematuhi suami saya yang
melarang saya pulang walau untuk sekadar sambang nengoki ibu, karena teringat
kisah sahabat rasul yang tidak mau pulang hingga orangtuanya meninggal karena
belum dapat ridlo suaminya.
Glodak!!!! Berbakti model apa ini
batinku. kenapa tidak dikomunikasikan dengan suaminya. Seperti apa suami wanita
kekinian ini. Emosiku mulai untup-untup. Aku pandangi lekat-lekat wajah wanita
kekinian yang memerah pipi dan hidungnya karena menangis. Cantik wajahnya
secantik hatinya. Ia memilih mencari ridlo suaminya dengan mengorbankan hati
dan perasaannya. Zaman egaliter begini masih ada wanita kekinian nan modis yang
memegang teguh ajaran salafus salih.
Aku asik dengan perasaan, pikiran
dan emosiku yang berbenturan satu sama lain. Sementara wanita kekinian itu
mengambil air mineral dalam tasnya yang mahal dan meminumnya seteguk tanpa lupa
membaca bismilah. Subhanallah…. Perempuan ini keren… batinku.
Kebiasaan menjaga sunnah yang
pasti terbentuk lama sekali, tidak instan!! Aku makin penasaran dengan wanita
kekinian yang mulai mencuri hati perempuanku.
“Sekarang ibunya mbak bagaimana
kondisinya? Sudah sehatkah?” tanyaku memenuhi kepoku yang makin mengembang.
Wanita kekinian itu tidak
menjawab. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menunduk dan menangis
sesenggukan.
Oalah…. Kurang tepat sepertinya
pertanyaanku, batinku.
“Maafkan saya ya mbak, mungkin
pertanyaan saya melukai panjenengan”. Aku meminta maaf sambil ku elus bahu
kanannnya.
Wanita kekinian makin sesenggukan,
badannya berguncang, aku mencoba menenangkannya dengan mendekapnya beberapa
saat. Wanita kekinian memperbaiki posisi duduknya, mengusap air matanya dan
menarik nafas untuk menenangkan dirinya. Ku lihat kelopak matanya mulai sembam.
“Ibu saya sudah meninggal dua
tahun yang lalu Mbak.” Wanita kekinian melanjutkan kisahnya. “Saya belum sempat
memberikan yang terbaik untuk beliau, bahkan saat ibu saya wafat saya tidak
sempat melihat wajah beliau untuk terakhir kalinya, karena saya terlambat
sampai di Batu, walau saya sudah mengendarai mobil saya dengan kecepatan tinggi
dari Surabaya kala itu. Saat saya tiba di rumah ibu, ibu saya sudah dimakamkan
karena penduduk banyak yang harus segera bekerja sehingga tidak bisa menunggu
saya lama-lama.”
“Lho mbak pulang sendiri dan
nyetir sendiri dari Surabaya saat ibu mbak meninggal?, suami mbak kemana?”
tanya saya kepo banget sambil sedikit jengkel membayangkan sosok suami wanita
kekinian ini. Pingin tak cuwek suami
mbak e iki!!!
“Suami saya sudah saya telpon,
tapi tidak diangkat, biasanya juga begitu kalau dia sudah ngantor tidak akan
mau menerima telpon saya, kalaupun diterima pasti bilang aku sibuk terus
ditutup, tanpa menanyai saya lebih dulu.” Wanita kekinian berucap sambil
matanya nanar.
BYUUH…..! dadi opo suami mbak
iki!!!!,
Koyok opo prejengane!!!! Saya
mulai emosi.
Sementara wanita kekinian itu
tetap teduh, sambil pandangannya mencari-cari sesuatu.
Aku mencoba menahan diri untuk
tidak bertanya terlalu banyak agar wanita kekinian dapat mengungkapkan kisahnya
sebanyak mugkin agar sedikit ringan bebannya. Kalau aku tanya dalam kondisi
mulai emosi bisa jadi berbeda kisahnya. J
“Saat ibu saya sakit dan dirawat
adik saya di Batu, saya sempat menyampaikan ke suami saya untuk membawa ibu ke
Surabaya, agar saya bisa merawatnya. Kasihan adik saya yang harus ngurusi ibu
dan usahanya. Nggak bisa membayangkan bagaimana repotnya adik saya.
Selama ini nyaris adik saya yang
menghidupi ibu dan dirinya. Ia tidak pernah mau merepoti saya karena ibu dan
adik saya tidak ingin melihat saya dimarahi suami saya, yang merasa terganggu dengan
keluhan adik atau ibu, dan suami saya menyatakan dengan keras kalau ia tidak
mengijinkan ibu saya tinggal di Surabaya. Masih teringat dengan baik dan akan terus
saya ingat sampai kapanpun saat ia menyatakan “ keluarga kita itu hanya aku,
kamu dan anak-anak.”
Walaaah…!!! Aku mencoba memahami
model hubungan suami istri wanita kekinian ini, tetep gak nutut pikiranku.
“Maaf mbak, apakah panjenengan
mencintai suami panjenengan?” tanyaku.
Si wanita kekinian menarik nafas
sejenak. “Cinta itu tidak penting mbak. Saya menikah niatnya ibadah saja. Saya
bersyukur suami saya masih menerima saya hingga saat ini.” Kalimat itu
diucapkan datar dan perlahan.
Ini keputusasaan atau kepasrahan
seorang perempuan yaa??? Tanyaku pada diri sendiri.
“ Mengapa panjenengan bilang
begitu?” tanyaku.
“Saya sudah melewati masa sulit
berkali-kali, saat ibu sakit, usaha beliau mulai menurun, adik saya terbelit
hutang dan harus membayar cicilan di bank yang tidak sedikit. Ia tetap
mempertahankan usaha ibu, dengan alasan ini yang bisa dia lakukan. Saya
tawarkan untuk ikut saya, tapi ia tetap tidak mau dengan alasan sungkan suami
saya.
Entah bagaimana ceritanya, adik
saya banyak ditolong pak Wisnu dimasa-masa sulitnya.
Suatu sore saya tiba-tiba ingin
pulang karena rindu ibu dan adik saya. Saya pergi ke Batu sendiri sepulang
kerja, tanpa izin suami karena ia sedang tugas ke luar negeri. Di rumah itu
saya melihat pak Wisnu duduk menemani dan berbicara dengan ibu saya yang
terbaring di atas tempat tidur.
Sementara adik saya duduk di ruang
tamu membaca beberapa kertas tagihan dagangan dan menyalinnya di buku besar.
Hati saya merasa tidak nyaman melihat pak Wisnu akrab dengan ibu dan adik saya.
entah kenapa rasa tidak nyaman itu menyeruak begitu saja dalam hati saya.
“waah… ada kakaknya mbak Nita, apa
kabar mbak?” sapa pak Wisnu sambil berdiri menghampiri saya dan menjabat tangan
saya.
“Alhamdulillah baik Pak.” Hati
saya makin gelisah.
“Saya ingin bicara dengan sampean
mbak” kata pak Wisnu lagi.
“Iya pak, ada yang harus segera
saya dengarkan rupanya.” Saya dan pak Wisnu duduk di kursi tamu, adik saya
pindah ke kamar menemani ibu saya.
“Begini mbak, kasihan adiknya lho…
harus ngurus ibu dan usahanya yang mulai mengalami kerugian terus menerus. Saya
bantu semampu saya karena saya sudah menganggap ibu dan adik Nita keluarga
saya. Saya bermaksud menikahi adik sampean.”
Waah … modus ini ucapku dalam
hati, kayak film india saja.
Wanita kekinian itu mulai
berkaca-kaca lagi matanya. “Saya hanya bisa menjawab saat itu, jangan dekati
adik saya.” lanjut wanita kekinian seiring bulir air matanya mulai jatuh satu
demi satu.
Hati saya mulai campur aduk. Ikut
khawatir, sedih, dan jengkel.
“lalu mbak?” tanyaku lirih.
“Disinilah masa sulit hidup saya
dimulai.” Jawab wanita kekinian.
“Sejak itu saya mulai menerima
telpon pak Wisnu, awalnya menjelaskan perkembangan usaha adik saya, hingga
suatu hari lelaki itu memaksa saya melayani nafsunya dengan ancaman pilih adik
saya aman atau saya melayaninya.” Wanita kekinian itu mengatakan kalimat
terakhir tanpa ekspresi dan tanpa air mata lagi.
Mak jlep!!!!
Aku membisu berasa membeku…. Wanita
kekinian itu memegang kepalanya dengan kedua tangannya sambil menunduk dalam-dalam.
Ia mulai menangis sambil berucap lirih “saya bukan istri yang baik…. Saya bukan
kakak yang baik… saya manusia najis mbak…..” sekali lagi tubuhnya berguncang.
Aku hanya bisa diam…. kaget,
bingung, antara percaya tidak percaya bertemu makhluk cantik kekinian yang
berusaha bertahan dan membela keluarganya dengan segala keterbatasannya.
Dikepalaku muncul imaji wajah suami wanita kekinian dan pak Wisnu yang
sontoloyo itu!!!
Belum reda terkejutku, wanita
kekinian itu tiba-tiba mencengkeram kedua pundakku, matanya yang memerah
menatapku tajam dan berucap histeris “Bahkan aku sampai punya anak mbak!!!
Tidak cukup disitu!!! Aku membunuh anakku!!!! Untuk menjaga keutuhan
keluargaku!!!! Aku memilih keluargaku…. Keluargaku mbaaaak !!!!!”
langit rasanya runtuh!!! Air
mataku tak bisa kutahan lagi.
Aku pandangi wanita kekinian itu,
aku melihat kekalutan yang dalam di kedua matanya.
Dalaaaam sekali seolah
menenggelamkan diriku.
Aku memeluknya erat…. yaaa erat sekali… kami berdua menangis dalam
kesedihan yang berbeda kadarnya.
Desir angin mengusap wajah kami….
Kurasakan lembut sekali seolah ingin menyampaikan bahwa ia ikut merasakan
kesedihan yang didengar sore itu.
Part
3
Lama kami berpelukkan dan membuang
kesedihan hati melalui air mata. Sedikit kelegaan dan rasa tenang mulai
membalut rasaku, mungkin hal yang sama juga dialami si wanita kekinian. Kami
kembali duduk berdampingan dan menata nafas kami satu-satu.
Aku masih terdiam tidak tahu harus
bertanya atau ngomong apa. Ya Allah…. Semua manusia sebenarnya sedang berenang
dalam lautan najis. Semua sedang berjihad untuk memperbaiki dirinya dan
memerdekakan dirinya hingga dengan ringan melangkah menuju tujuan penciptaan
yaitu mengabdi pada MU sesuai kemampuannya.
Aku menyimak dengan seksama kisah
yang terus disampaikan wanita kekinian yang begitu memercayaiku. Dengan lebih
tenang wanita kekinian itu melanjutkan kisahnya.
“Setelah anak saya meninggal
karena saya yang membunuhnya itu, hubungan saya dan suami menjadi semakin jauh.
Kami satu rumah tapi tidak ada rasa. Kami pergi bersama, tapi tanpa kehangatan.
Saya dan suami sepakat untuk menyimpan semua kisah yang memporakporandakan rasa
kami serapi mungkin dari anak-anak dan
keluarga besar suami saya. Ini tidak mudah. Saya merasakan bagaimana terlukanya
suami saya, hancurnya rasa dan kepercayaannya terhadap saya.”
Aku diam dan terus mendengar
dengan baik kata demi kata yang disampaikan wanita kekinian. “Mbak masih
mendengarkan sayakah?” tanyanya padaku.
“Iya mbak, saya setia mendengarkan
kisah panjenengan.” Wanita kekinian yang duduk disebelahku melanjutkan
kisahnya, “Saya teringat betul kala suami saya berkata, jangan tinggalkan saya
setelah semua yang kamu lakukan padaku!. Aku butuh status keluarga yang utuh
didepan keluargaku dan kolega-kolegaku.”
“Saya hanya diam mendengarkan
mbak, saya bisa merasakan bagaimana terkoyaknya rasa dan jiwa suami saya. Saya
berterima kasih ia masih menerima saya walau tanpa rasa. Karena saya masih
ingin dekat dengan anak-anak saya.”
Aku mencoba menerjemahkan kalimat
keluarga tanpa rasa versi wanita kekinian ini. Bagaimana menjalaninya? sampai
kapan?. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benakku. Ternyata suami
wanita kekinian ini mempunyai jiwa yang lapang apapun yang melatarbelakanginya.
“Setelah kejadian besar itu saya
tidak pernah pulang ke Batu, saya berkomunikasi hanya via telpon untuk sekadar
mengetahui kabar berita ibu dan adik saya. Saya menganggap semua baik-baik
saja, hingga suatu hari….” Wanita kekinian itu menghentikan kisahnya.
Waduh onok opo maneh iki batinku
(waduh ada apalagi ini, batinku). Detak jantungku berdetak lebih cepat, aku
benar-benar telah masuk dalam kisah kehidupan wanita kekinian ini.
“Suatu hari kenapa mbak?’ tanyaku
tak bisa menahan diri.
Sambil mengambil nafas panjang
wanita kekinian itu menjawab “ Adik saya ngabari kalau ia dihamili pegawai ibu
saya, yang selama ini kami percaya untuk menemani ibu dan adik saya dan orang
tuanya ingin menikahkan mereka”
weeee lah dalah….. perutku mules
tiba-tiba, serasa tidak sanggup mendengarkan lagi kisah selanjutnya. Aku
berkata dalam hati, “Duh gusti…. Sungguh tidak ada kisah hidup yang tidak
tertulis, namun kenapa harus ada kisah berseri yang bertubi menyesakkan hati
seperti ini,”
“Lanjutkan mbak,”lisanku otomatis
berucap itu.
Wanita kekinian itu menjawab
dengan lebih tenang “Pada hari yang sudah disepakati ibu, adik saya dan
keluarga sopir saya, saya segera menuju Batu. Saya tak perlu lagi pamit suami
saya karena ia tak akan menanyai apapun yang saya lakukan. Selepas subuh saya
melaju, Surabaya-Batu saya tempuh hanya dalam waktu satu setengah jam.
Sesampainya dirumah ibu, saya menyaksikan sudah ada sekitar 8 atau 9 orang
pihak keluarga sopir ibu saya duduk dalam diam. Adik saya duduk bersebelahan
dengan ibu saya yang duduk di kursi roda. Kebaya warna cream berpadu jarik
warna coklat membalut tubuh mungil adik saya yang duduk di sebelah ibu saya yang
tersandar di kursi roda. Riasan tipis nan alami membuat adik saya makin tampak
cantik. Saya memandang satu demi satu keluarga Joko si sopir ibu saya.
wajah-wajah bersahaja yang penuh dengan keprihatinan namun meneduhkan. Mata
saya menangkap si Joko yang menundukkan wajahnya tak berani menatap saya. satu
persatu saya jabat tangan para tamu kecuali si Joko. Saya peluk ibu saya yang
terus menangis sejak melihat saya berdiri dan berucap salam di pintu rumah.
Saya peluk tubuh ibu saya yang
makin menipis, badannya tetap beraroma minyak kayu putih seperti biasanya,
rambutnya yang memutih sebahu tertutup pasmina warna coklat muda. Garis
kecantikkanya masih nampak jelas. Saya peluk lama beliau, kami berdua
sesenggukkan, hati saya teriris-iris meraskan perihnya hati ibu saya yang
berusaha berkata namun tak bisa. Saya beri anggukkan sebagai isyarat saya paham
atas apa yang ibu ingin ucapkan.
Adik saya menunduk sambil terus
meneteskan air mata. Saya memeluknya sambil berkata. Maafkan mbak mu ya dek, maafkan.
Adik saya hanya mengangguk sambil terus menangis, saya merasakan ia sangat terluka
dan merasa bersalah. Makin erat saya peluk tubuhnya yang mungil. Semua diruang
tamu mulai terdengar sesenggukkannya. Saya melepas pelukan adik saya dengan
mengelus kepalanya beberapa kali.
Segera saya menuju si Joko yang
masih menunduk tak berani menatap saya. Saya dekati dia dan berkata “ angkat
wajahmu Jok!” . Si Joko mengangkat wajahnya, tangan saya menampar mukanya
dengan keras. “Kamu! kurang ajar kamu!.” bentak saya, sambil bercucuran air
mata. “Kamu tega sekali!”
Seorang perempuan seumuran ibu
saya menghampiri saya dan berkata, “Mohon dimaafkan mbak.” Katanya lirih.
Saya tatap dalam-dalam perempuan
berkebaya putih, berkerudung putih yang ternyata ibunya si Joko. Wajahnya yang
teduh meredakan amarah saya.
“Saya belum bisa terima ibu, belum
bisa menerima” ibu si Joko menimpali “Kami kesini untuk mempertanggungjawabkan
apa yang dilakukan anak saya mbak. Kasian jabang bayinya.”
Saya memandangi perut adik saya
yang mulai nampak membuncit. PYAAARRRR…..
Bayangan apa yang telah saya alami
menari-nari di kelopak mata saya…., sangat jelas…. semua sangat jelas, seolah
baru terjadi kemarin. Saya merasa pusing dan lemas.”
Wanita kekinian itu menghentikan
kisahnya. Ia memegang tangan saya dan berkata “Mbak e baik-baik saja?”
kini kondisinya terbalik aku yang
tidak bisa menguasai diriku. Aku sesenggukkan mendengarkan kisah wanita
kekinian yang berhasil menyayat rasa perempuanku sebagai seorang ibu.
“oh… maaf mbak saya terlalu hanyut
dengan kisah panjenengan”, jawabku sambil mengusap air mataku dan mulai mengatur
nafasku.
“Apa yang selanjutnya mbak
lakukan?” tanyaku.
Aku melihat wanita kekinian ini
lebih tenang dan menguasai dirinya. Ia melanjutkan kisahnya. “Kami bersebelas
menuju kantor KUA, ibu saya tetap di rumah dengan beberapa tetangga dan bude
Darmi yang biasa menemani ibu dan adik saya. Saya memberi beberapa lembar
ratusan dan meminta tolong tetangga membeli kue basah di pasar untuk suguhan.
Saya berdua dengan adik saya
berkendara menuju kantor KUA yang letaknya 15 km dari rumah kami. Sepanjang
jalan saya hanya diam tak tega bertanya pada adek saya. Rombongan kami menuju
ruangan berukuran 4x6 m yang di dalamnya sudah tampak beberapa kursi kayu yang
tertata dan sebuah meja bertaplak kain hijau yang terletak di deretan paling
depan dengan dua kursi yang menghadap ke kursi yang berjajar.
Prosesi akad nikah berlangsung
sangat sederhana. Saya menangis saat mendenga pertanyaan penghulu “apakah ada
paksaan atas pernikahan ini dari pihak lain?” yang ditujukan ke adik saya. Hati
saya mengingkari kata-kata adik saya yang menjawab tidak ada. Selama prosesi
saya tidak bisa menghentikan tangis saya. saya merasa tidak memberikan
perlindungan yang baik pada adik saya semata wayang. Tiba-tiba saya rindu ayah
saya. Saya mencoba mencari bayangan sosok ayah saya tapi tak dapat saya
temukan. Ya tak bisa saya temukan, karena saya hanya mengenal beliau sampai
umur 8 tahun saja. Adik saya malah tidak pernah mengenal wjah ayah saya karena
ia lahir saat ayah saya sudah meninggal.
“Kini adik saya tinggal di rumah
kontrakannya dengan si Joko dan anaknya, dan hari ini saya akan ke Batu menemui
adik saya yang menelpon dan mengabarkan bila masa kontrakkannya akan habis
akhir bulan ini sementara ia tidak mampu bayar kontrakan lagi.”
Wanita kekinian itu menengadahkan
wajahnya beberapa saat memandangi lagit yang berhias mendung, semendung
hatinya.
Aku ikut menengadahkan wajahku.
Sejuk rasanya.
“Apa yang mbak rasakan sekarang?”
tanyaku, kulihat wajahnya lebih tenang makin terlihat cantik dan teduh
wajahnya.
“Terima kasih sudah mendengar
cerita saya ya mbak. Saya merasa tidak sendiri, pepat hati saya sedikit
berkurang.” Ia menatapku sambil tersenyum, tampak lesung pipitnya menambah
cantik. “Apa yang akan mbak lakukan sekarang?” tanyaku lagi sambil merapikan
jilbabku yang basah di bagian pipi.
“Saya akan meminta adik saya
berpisah dari suaminya.”
Whaaat???? Batinku.
“Saya harus bergegas ke Batu
keburu kemalaman saya balik ke Surabaya.” Wanita kekinian itu berdiri dan
memandangi ku.
“Iya mbak. Saya juga harus pulang
ke Sidoarjo karena kalau terlalu malam mata saya tak mampu melihat dengan
baik.” Aku menimpali.
Wanita kekinian itu menjabat
tanganku dan memelukku. Harum parfumnya tercium lembut dan aku menyukainya.
Wanita kekinian itu berbisik, “Terima kasih ya mbak.”
Aku mengangguk dan menbalas “Sama-sama
mbak.”
Wanita kekinian itu melangkah ke
arah parkiran di depan masjid Agung kota Malang. Gaunnya melambai tertiup angin
seolah berpamitan padaku. Setelah jarak satu meter aku meneriakinya “Mbak…., Ia
menghentikan langkahnya lalu menoleh kearahku.
“Iya” ia menjawab teriakanku.
“Kenapa panjenengan memilih
berbagi kisah dengan saya?” tanyaku.
“Ia tersenyum dan berkata “Karena
mbak e pakai bros kupu-kupu, saya pecinta kupu-kupu mbak e.” ia melambaikan
tangannya sambil tersenyum.
Aku berdiri memandangi wanita kekinian
yang makin menjauh, ternyata dia pencinta kupu-kupu sama sepertiku. Lhaaa….
kenapa aku lupa menanyakan namanya. Aah… apalah arti sebuah nama. Pertemuanku
dengan wanita kekinian itu mengajarkanku bahwa manusia itu menjalani
puzzle-puzzle kehidupan masing-masing. Capaian kepingan puzzle yang terlewati
akan menentukan jenis puzzle berikutnya. Seburuk apapun yang telah kita lakukan
jika kita ingin berbalik arah kepada kebaikan maka itu akan bernilai ibadah.
Allah melihat kesungguhan hambanya dalam berproses. Perhitungan Allah itu maha
teliti, DIA maha adil dan maha pengasih.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk
surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah.’
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214).
Semoga dimudahkan...n penuh barakah
BalasHapusSemoga dimudahkan...n penuh barakah
BalasHapus